Rakyat Hastina kembali mengagumi ketangkasan Pandwa terlebih Arjuna setelah mampu menangkap Raja Drupada. Hal ini membuat Duryodana dan saudaranya semakin membenci Pandawa. Ia hanya ingin kehancuran bahkan kematian sepupunya itu. “Aku tak akan pernah hidup dengan tenang jika para Pandawa masih ada di muka bumi ini. Mereka akan menguasai Hastina dan kita hanya akan menjadi penonton”. Kata Duryodana kepada Karna dan Sengkuni. Karna sekutu baru Duryodana yang setia siap kapan saja jika diperintahan untuk menyerang Pandawa. Tapi Sengkuni paman Duryodana memiliki cara lain yang lebih halus namun mematikan untuk melenyapkan Pandawa selamanya. “Keponakanku, Kalau kita langsung menyerang Pandawa secara terbuka maka itu sama dengan bunuh diri. Kita akan kehilangan kepercayaan rakyat. Maka kita harus memakai cara lain”. Kata Sengkuni.
“Tapi bagaimana caranya paman?” Tanya Duryodana tidak sabar. Sengkuni lalu membisikkan sesuatu di telinga Duryodana. Keesokan harinya Duryodana menghadap ayahnya Raja Drestarasta untuk menjalankan rencana yang disusun oleh Sengkuni. “Ada apa putraku, pagi-pagi kau telah datang kehadapan ayah mu ini?” Tanya Drestarasta. “Ayah, akhir-akhir ini aku merasa tidak bahagia, aku resah dengan nasibku” Jawab Duryodana. Dretarasta yang buta telah ditipu oleh kata-kata menyentuh yang dikeluarkan oleh putra kesayangannya. “Kenapa begitu putraku? Apa yang kurang di istana?”
“Ayah, tidak ada yang kurang di istana, hanya saja sejak Pandwa tinggal bersama kita, keberadaanku merasa terancam. Apalagi setelah Arjuna berhasil menangkap Raja Drupada, telah membuat hatiku panas. Rakyat dimana-mana selalu menyanjung nama Arjuna dan saudaranya. Mereka ingin Yudistira yang menjadi raja kelak. Jika itu terjadi lalu bagaimana dengan nasibku ini ayah? Tegakah kau menyaksikan putra-putramu, darah dagingmu sendiri menjadi peminta-minta pada Pandawa?” Keluh Duryodana pada ayhanya.
“Aku paham putraku, jangan pikir karena aku buta maka aku tak tahu penderitaanmu ini. Tapi mereka adalah keponakannku. Anak dari Pandu adikku yang aku kasihi. Berkat dia juga Hastina ini menjadi besar seperti sekarang. Aku tidak akan tega meyakiti Pandawa” jawab Drestarasta dengan sedih.
“Ayah jika engkau benar syang dan peduli pada masa depan kami, maka ayah cukup merestui rencana yang telah kami buat. Ayah tidak akan dituduh kejam karena menyingkirkan Pandawa keponaakan ayah sendiri. Rakyat akan mengira semua kejadian ini hanya kecelakaan semata”. Kata Duryodana.
Lalu Duryodana menjelaskan dengan detail rencana yang telah disusun oleh Sengkuni untuk meleyapkan Pandawa kepada Ayahnya. Karena kasih sayang yang buta kepada putranya maka Drestarasta menyetujui renacana tersebut.
Beberapa hari kemudian Raja Drestarasta memanggil Pandwa dan Ibu Kunti menghadap. Raja menyampaikan bahwa Pandawa diberikan tugas untuk menghadiri upacara pemujaan terhadap Dewa Siwa di Warnabrata. Tanpa rasa curiga Yudistira dan keempat saudaranya menyanggupi perintah pamanya. Dewi Kunti ibu para Pandawa merasa ada yang tidak beres dengan perjalanan itu. Ia pun meminta kepada Raja Drestarasta agar diijinkan ikut menemani kelima putranya.
Widura paman Pandawa yang bijaksana juga melihat keganjilan perjalan tersebut. Sebelum berangkat Widura diam-diam menemui Pandawa. “Anak-anakku kalian sudah dewasa dan aku yakin dengan keahlian yang kalian punya bisa menjaga diri. Tapi kalian harus tetap waspada. Bisa jadi ini adalah tipu daya Duryodana yang telah dihasut oleh Sengkuni untuk mencelakai kalian. Aku akan mencari informasi tentang rencana mereka. Sementara itu kalian harus tetap hati-hati”. Begitulah pesan widura kepada kelima Pandawa.
Pada hari yang telah ditentukan maka Pandwa dan Ibunya Dewi Kunti pergi ke Warnabrata untuk mengikuti upacara selama beberapa waktu. Sampai di tempat upacara, Pandawa dibawa ke sebuah istana sebagai tempat beristirahat. Istana itu terletak di tengah hutan, bentuknya sederhana namun indah. Tak lama kemudian muncullah utusan yang membawa surat untuk mereka. Ternyata surat itu dari Paman Widura.
“Anak-anakku, benar ini adalah siasat busuk Duryodana. Istana yang kalian tempati telah dibangun khusus dari bahan yang mudah terbakar oleh Purocana. Tapi kalian tidak usah khawatir. Aku akan mengirim penggali terowongan agar kalian bisa lolos dari bencana ini. Bersikaplah tenang seperti tidak terjadi apa-apa kepada orang disana.” Demikian isi surat dari Widura. Di surat itu juga tertulis dengan jelas petunjuk jalan keluar lewat terowongan yang akan digali.
Mengetahui rencana jahat tersebut Bhima langsung naik darah. “Aku akan menghabisi Doryodana dan Karna. Tak ada lagi ampun untuk mereka. Ayo Arjuna ambil busurmu kita kembali untuk menantang mereka, buat apa kita berpura-pura sudah jelas mereka mau berperang!” Kata Bhima. Lalu Yudistira berkata” Sabar Bhima, Paman Widura sudah mengatur semuanya agar kita selamat. Lagi pula kita tidak akan berhasil mengalahkan Hastina sekarang, mereka punya segalanya, senjata, tentara dan juga sekutu. Kita juga harus menghormati Kakek Bhisma yang tak ingin terjadi perpecahan di Hastina. Tidak selamanya perang menyelesaikan masalah”.
Dewi Kunti juga menasehati Bhima yang gampang tersulut amarah. Dewi Kunti menyarankan agar tetap mengikuti petunjuk Widura demi keselamatan Pandawa. Akhirnya Pandwa sepakat untuk mengikuti petunjuk Paman Widura.